Kebiasaanku, biar liburan bermanfaat harus diisi dengan baca buku.
Setidaknya punya waktu luang yang lebih banyak untuk membebaskan diri
dengan hobiku yang satu ini.
“RINDU” satu karya lagi yang sangat
mengagumkan dari novelis favoritku, Tere Liye. Latar besar cerita ini
adalah kisah perjalanan naik haji pada tahun 1938. Dimana pada saat itu,
perjalanan haji adalah perjalanan yang amat panjang. Memakan waktu
berbulan-bulan. Menggunakan transportasi berupa kapal milik Belanda
untuk menempuh jarak Indonesia – Makkah.
Seperti
biasa, Bang Tere Liye memang nggak bisa diragukan lagi dalam hal
mengemas cerita. Penokohan, latar waktu, latar tempat, suasana,
penempatan konflik, semua tertata rapi dalam cerita ini. Membuat yang
membacanya bisa terbawa arus cerita dengan kalimat-kalimat yang
memudahkan mengimajinasikannya. T.O.P. B.G.T. deh pokoknya!
Dan
yang terpenting dalam novel ini adalah pesan yang terkandung di
dalamnya. Novel ini berisikan perjalanan panjang kerinduan, Berisikan
lima kisah tentang masa lalu yang memilukan. Berisikan jawaban-jawaban
akan pertanyaan-pertanyaan. Semuanya kaya akan nilai-nilai kehdupan.
Maka,
ingin rasanya aku berbagi dengan semua. Sedikit saja,
pelajaran-pelajaran indah yang aku kutip dari novel ini dengan
kalimat-kalimat aslinya. Semoga menginspirasi dan bermanfaat.
Tentang Menghadapi Masa Lalu
“Kita
keliru sekali jika lari dari sebuah kenyataan hidup. Kalau kau berusaha
lari dari kenyataan itu, kau hanya menyulitkan diri sendiri.
Ketahuilah, semakin keras kau berusaha lari, maka semakin kuat
cengkeramannya. Semakin kencang kau berteriak melawan, maka semakin
kencang pula gemanya memantul, memantul, dan memantul lagi memenuhi
kepala.”
“Cara terbaik menghadapi masa lalu adalah dengan
dihadapi. Berdiri gagah. Mulailah dengan damai menerima masa lalumu.
Buat apa dilawan? Dilupakan? Itu sudah menjadi bagian hidup kita. Peluk
semua kisah itu. Berikan dia tempat terbaik dalam hidupmu. Itulah cara
terbaik mengatasinya. Dengan kau menerimanya, perlahan-lahan dia akan
memudar sendiri. Disiram oleh waktu, dipoles oleh kenangan baru yang
lebih bahagia.”
Tentang Penilaian Orang Lain
“Saat
kita tertawa hanya kitalah yang tahu persis apakah tawa itu bahagia
atau tidak. Boleh jadi, kita sedang tertawa dalam seluruh kesedihan.
Orang lain hanya melihat wajah. Saat kita menangis pun sama, hanya kita
yang tahu persis apakah tangisan itu sedih atau tidak. Boleh jadi kita
sedang menangis dalam seluruh kebahagiaan. Orang lain hanya melihat
luar. Maka, tidak relevan penilaian orang lain.”
“Kita
tidak perlu menjelaskan panjang lebar. Itu kehidupan kita. Tidak perlu
siapa mengakuinya untuk dibilang hebat. Kitalah yang tahu persis setiap
perjalanan hidup yang kita lakukan. Karena sebenarnya yang tahu persis
apakah kita bahagia atau tidak, tulus atau tidak, hanya kita sendiri.
Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia
sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.”
“Kita
tidak perlu membuktikan apa pun kepada siapa pun bahwa kita itu baik.
Buat apa? Sama sekali tidak perlu. Jangan merepotkan diri sendiri dengan
penilaian orang lain. Karena toh, kalaupun orang lain menganggap kita
demikian, pada akhirnya tetap kita yang tahu persis apakah kita memang
sebaik itu.”
Tentang Membenci dan Memafkan Seseorang
“Ketahuilah
kita sebenarnya sedang membenci diri sendiri saat membenci orang lain.
Ketika ada orang jahat membuat kerusakan di muka bumi, misalnya, apakah
Allah langsung mengirimkan petir untuk menyambar orang itu? Nyatanya
tidak. Bahkan dalam beberapa kasus, orang-orang itu diberikan begitu
banyak kemudahan, jalan hidupnya terbuka lebar. Kenapa Allah tidak
langsung menghukumnya? Kenapa Allah menangguhkannya? Itu hal mutlak
Allah. Karena keadilan Allah selalu mengambil bentuk terbaiknya, yang
kita tidak selalu paham.”
“Ada orang-orang yang kita
benci. Adapula orang-orang yang kita sukai. Hilir-mudik datang dalam
kehidupan kita. Tapi apakah kita berhak membenci orang lain? Sedangkan
Allah sendiri tidak mengirimkan petir segera? Pikirkan dalam-dalam,
kenapa kita harus benci? Kenapa? Padahal kita bisa saja mengatur hati
kita, bilang saya tidak akan membencinya. Toh itu hati kita sendiri.
Kita berkuasa penuh mengatur-ngaturnya. Kenapa kita tetap memutuskan
membenci? Karena boleh jadi, saat kita membenci orang lain, kita
sebenarnya sedang membenci diri sendiri.”
“Terkait dengan
berdamai. Ketahuilah, saat kita memutuskan memaafkan seseorang, itu
bukan persoalan apakah orang itu salah, dan kita benar. Apakah orang itu
memang jahat atau aniaya. Bukan! Kita memutuskan memaafkan seseorang
karena kita berhak atas kedamaian di dalam hati.”
“Kesalahan
itu ibarat halaman kosong. Tiba-tiba ada yang mencoretnya dengan
keliru. Kita bisa memaafkannya dengan manghapus tulisan tersebut, baik
dengan penghapus biasa, dengan penghapus canggih, dengan apa pun. Tapi
tetap tersisa bekasnya. Tidak akan hilang. Agar semuanya benar-benar
bersih, hanya satu jalan keluarnya, bukalah lembaran kertas baru yang
benar-benar kosong. Buka lembaran baru, tutup lembaran yang pernah
tercoret. Jangan diungkit-ungkit lagi. Jangan ada tapi, tapi, dan tapi.
Tutup lembaran tidak menyenangkan itu. Apakah mudah melakukannya? Tidak
mudah. Tapi jika kau bersungguh-sungguh, kau berniat teguh, kau pasti
bisa melakukannya. Mulailah hari ini. Mulaiah detik ini.”
Tentang Menerima Takdir
“Lahir
dan mati adalah takdir Allah. Kita tidak mampu mengetahuinya. Pun tiada
kekuatan bisa menebaknya. Kita tidak bisa memilih orangtua, tanggal,
tempat… tidak bisa. Itu hak mutlak Allah. Kita tidak bisa menunda,
maupun memajukannya walau sedetik. Allah yang tahu alasannya. Dan ketika
kita tidak tahu, tidak mengerti alasannya, bukan berarti kita jadi
membenci, tidak menyukai takdir tersebut. Amat terlarang bagi seorang
muslim mendustakan takdir Allah.”
“Allah memberikan apa
yang kita butuhkan, bukan apa yang kita inginkan. Sesuatu yang kita
anggap buruk, boleh jadi baik untuk kita. Sebaliknya, segala hal yang
kita anggap baik, boleh jadi amat buruk bagi kita. Mulailah menerimanya
dengan lapang hati. Karena kita mau menerima atu menolaknya, dia tetap
terjadi. Takdir tidak pernah bertanya apa perasaan kita, apakah kita
bahagia, apakah kita tidak suka. Takdir bahkan menyapa basa-basi pun
tidak. Tidak peduli. Nah, kabar baiknya, karena kita tidak bisa
mengendalikannya, bukan berarti kita jadi makhluk tak berdaya. Kita
tetap bisa mengendalikan diri sendiri bagaimana menyikapinya. Apakah
bersedia menerimanya, atau mendustakannya.”
“Biarlah
waktu mengobati seluruh kesedihan. Ketika kita tidak tahu mau melakukan
apalagi, ketika kita merasa semua sudah hilang, musnah, habis sudah,
maka itulah saatnya membiarkan waktu menjadi obat terbaik. Hari demi
hari akan menghapus selembar demi lembar kesedihan. Minggu demi minggu
akan melepas sepapan demi sepapan kegelisahan. Bulan, tahun, maka rontok
sudahlah bangunan kesedihan di dalam hati. Biarkan waktu mengobatinya,
maka semoga kita mulai lapang hati menerimanya. Sambil terus mengisi
hari-hari dengan baik dan positif.”
“Dalam Al-Quran
ditulis dengan sangat indah, minta tolonglah kepada sabar dan shalat.
Bagaimana sabar bisa menolong kita? Tentu saja bisa. Dalam situasi
tertentu, sabar bahkan adalah penolong paling dahsyat. Tiada terkira.
Dan shalat itu juga penolong terbaik tiada tara.”
“Mulailah
memahami kejadian ini dari kacamata yang berbeda, agar lengkap. Jangan
memaksakan melihat dari kacamata kita. Terus bersikeras, bertanya, tidak
terima. Jika itu yang kita lakukan, maka kita akan terus kembali,
kembali, dan kembali lagi ke posisi awal. Tidak pernah beranjak jauh.”
Tentang Cinta Sejati
“Apakah
cinta sejati itu? Maka jawabannya, dalam kasus kau ini, cinta sejati
adalah melepaskan. Semakin sejati perasaan itu, maka semakin tulus kau
melepaskannya. Persis seperti anak kecil yang menghanyutkan botol
tertutup di lautan, dilepas dengan rasa suka cita. Lepaskanlah. Maka
besok lusa, jika dia adalah cinta sejatimu, dia pasti akan kembali
dengan cara mengagumkan. Ada saja takdir hebat yang tercipta untuk kita.
Jika dia tidak kembali, makka sederhana jadinya, itu bukan cinta
sejatimu. Kisah cinta di dalam buku itu, di dongeng-dongeng cinta, atau
hikayat tua, itu semua ada penulisnya. Kisah cinta kau siapa penulisnya?
Allah. Penulisnya adalah pemilik cerita paling sempurna di muka bumi.
Tidakkah sedikit saja kau mau meyakini bahwa kisah kau pastilah yang
terbaik yang dituliskan.”
“Dengan meyakini itu, maka
tidak mengapa kalau kau patah hati, tidak mengapa kalau kau kecewa, atau
menangis tergugu karena harapan, keinginan memiliki, tapi jangan
berlebihan. Jangan merusak diri sendiri. Selalu pahami, cinta yang baik
selalu mengajari kau agar menjaga diri. Tidak melanggar batas, tidak
melewati kaidah agama. Karena esok lusa, ada orang yang mengaku cinta,
tapi dia melakukan begitu banyak maksiat, menginjak-injak semua
peraturan dalam agama, menodai cinta itu sendiri. Cinta itu ibarat
tanaman. Jika dia tumbuh di tanah yang subur, disiram dengan pupuk
pemahaman baik, dirawat dengan menjaga diri, maka tumbuhlah dia menjadi
pohon yang berbuah lebat dan lezat. Tapi jika bibit itu tumbuh di tanah
yang kering, disiram dengan racun maksiat, dirawat dengan niat jelek,
maka tumbuhlah dia menjadi pohon meranggas, berduri, berbuah pahit.”
“Jika
harapan dan keinginan memiliki itu belum tergapai, belum terwujud, maka
teruslah memperbaiki diri sendiri, sibukkan dengan belajar. InsyaAllah,
besok lusa, Allah sendiri yang akan menyingkapkan misteri takdirnya.”
Tentang Melawan Kemungkaran
“Kita
tidak bisa melawan kemungkaran dengan benci dalam hati atau lisan. Kita
tidak bisa menasihati perompak itu dengan ucapan-ucapan lembut. Malam
ini kita harus menebaskan pedang.”
Terimakasih Bang Tere Liye
atas nasihat-nasihat kehidupannya. Semoga suatu saat nanti kita bisa
menjadi penulis inspiratif seperti beliau juga. Buat Temen-temen yang
belum baca, yuk baca novelnya!
0 Comments