Jalan Gelap



Untuk hati yang terluka
Tenanglah kau tak sendiri
Untuk jiwa yang teriris tenang ku kan temani
Hidup itu sandiwara
Yang nyata ternyata delusiTerlarut posesi berujung kau gila sendiri
Jika kau tak dapatkan yang kau impikanBukan berarti kau telah usaiJika kau tak dapatkan yang kau impikanBukan berarti kau telah usai
Biarkan kegelapanmu menemukan titik terang baru
Pasukanmu kan kembali, memelukmu yang baru

Aku putar "Untuk Hati yang Terluka" Isyana Sarasvati, salah satu lagu favorit dalam playlist-ku. Lagu ini sedang relate sekali dengan kehidupanku saat ini. Gelap dan buntu. Coba, gagal, coba lagi, gagal lagi. Sedangkan melihat orang lain, sepertinya mudah sekali mendapatkan cita-citanya.

Namun, di sepanjang jalan yang gelap ini, aku merasakan ada perubahan besar dalam diriku. Aku jadi biasa dengan gagal. Dulu menangis berhari-hari, sekarang hanya beberapa menit saja. Coping mechanism-ku semakin OKE. Aku jadi berbiasa dengan ekspektasi. Dan yang terpenting, aku belajar menerima diriku. Segala kelebihan dan kekurangannya, toh aku tak bisa memilih dilahirkan sebagai siapa. Aku belajar memahami mana yang bisa kukontrol, dan mana yang tidak. Aku belajar untuk tidak ngotot. 

Ternyata kegelapan terkadang tetap berusaha menemukan titik terangnya. Titik terang itu bukan melulu soal keberhasilan ataupun keadaan yang membaik 180 derajat. Tapi, kata-kata dalam buku, sosmed, dan sumber apapun itu yang tiba-tiba kutemukan dalam situasi hati yang acak adut. Mereka seperti membelai halus, menepuk lembut, "Puk, puk, sabar ya". 

Dua hari terakhir aku membaca sebuah novel karya penulis favoritku, Tere Liye. Novel lamanya yang belum pernah kubaca, berjudul Negeri Di Ujung Tanduk. Pagi ini aku sampai pada lembar terakhir dan menemukan kalimat indah:

“Kau tahu, Nak, sepotong intan terbaik dihasilkan dari dua hal, yaitu, suhu dan tekanan yang tinggi di perut bumi. Semakin tinggi suhu yang diterimanya, semakin tinggi tekanan yang diperolehnya, maka jika dia bisa bertahan, tidak hancur, dia justeru berubah menjadi intan yang berkilau tiada tara. Keras. Kokoh. Mahal harganya.

“Sama halnya dengan kehidupan, seluruh kejadian menyakitkan yang kita alami, semakin dalam dan menyedihkan rasannya, jika kita bisa bertahan, tidak hancur, maka kita akan tumbuh menjadi seseorang berkarakter laksana intan. Keras. Kokoh.” - Tere Liye

Pun saat aku sedang scrolling sosmed, walaupun aku sangat membatasinya. Pagi ini aku secara asal membuka satu story WhatsApp seorang teman yang membagikan screenshot dan link tulisan seseorang dalam Quora. Akun Quora tersebut bernama Echa. Aku tertohok dan bergumam, "Sungguh relate." Begini kurang lebih isi tulisannya: 
"Yaudah, mending ikutin arus aja. Keajaiban dateng. Turns out, my life just got brighter. Kok, kayak semuanya tuh walaupun berat, ada jalannya. Asalkan gue mau kerjain/mau repot. Bukan cuman dipikirin doang. Kayak, perlahan-lahan masalah tuh solved satu persatu. Kadang usaha yang kukerjain gagal, sedih. Tapi, di kegagalan berikutnya ya biasa aja, termyata kuncinya sederhana. Cuma di manage ekspektasi. Setelah kubisa manage ekspektasi. Gagal tuh berasa kayak lo kalah main game aja, kalah sih tapi ya bisa diulang lagi nanti dan mungkin dengan hadiah yang lebih baik. Hal terpenting? Tentu aja prosesnya."
Postingan ini banyak mendapatkan dukungan dan komentar positif, salah satunya dari akun dengan nama Dandelion22 yang komentarnya sangat berarti untukku:
"And i just realized kegagalan itu sebenernya nggak pernah ada, kita cuma melewatkan sesuatu yang emang nggak ditakdirkan buat kita."
Maka, biarkan kegelapan itu menemukan titik terang baru. Penjelasan atas semua kejadian tidak perlu buru-buru. Penjelasan terbaik akan datang di waktu yang tepat. Bagiku pemahaman-pemahaman baru nan berharga inilah secercah titik terang itu. Entah hidup akan membawaku ke jalan yang selalu gelap atau terang, aku akan terus berjalan. 

Post a Comment

0 Comments