Jangan Takut Masa Depan


Dulu, aku pernah jadi orang yang ambisius banget. Ya, setidaknya itu penilaianku untuk diriku sendiri. Aku pernah ngerasa gimana capeknya nurutin ambisi dan kemauanku. Lelah rasanya.

Dulu, setiap kali mau ujian, aku selalu nulis target tiap pelajaran minimal harus dapet nilai berapa. Contohnya bahasa Indonesia harus 90, matematika harus 85, dsb. Aku juga tipikal yang mau bekerja keras untuk apa yang aku mau ini. Hasilnya sih baik, aku cukup terbilang berprestasi di sekolah.


Tiap tahun, aku juga selalu bikin taget-target yang mau aku capai di tahun itu. Kutulis gede-gede di kertas dan kutempel di kamarku. Aku melakukan ini bukan inisiatif sendiri tapi karena terinspirasi dari seminar atau training motivasi yang aku ikuti di sekolah atau di kesempatan lainnya.

Tapi, seringkali sifat aku yang seperti ini (entah disebut ambisius atau apa) membuat aku lelah banget menjalani kehidupan. Seringkali aku nangis setelah ujian gara-gara hari itu aku merasa soal-soalnya susah. Seringkali aku kecewa sama nilai ujianku (yang padahal cukup bagus) karena ngeliat ada temen lain dapat yang lebih bagus. Seringkali sifatku ini menjadikan aku sulit bersyukur.

Hingga suatu waktu aku merasa banyak part di kehidupan aku yang berjalan tak sesuai rencana. Banyak. Tapi yang paling menurutku besar dan paling keinget sampai sekarang ada 2. Dan sepertinya 2 pengalaman pahit itulah yang membuatku berubah perlahan-lahan.

Pertama, ketika dulu aku mau masuk FK. Haha... Kalo diinget-inget kisah ini seru banget. Aku rasanya nggak bisa menikmati hidup selama perjuangan ini. Nggak santai banget cyyiin.

Berdasarkan pengalaman yang pernah aku alami, masuk FK alias Fakultas Kedokteran adalah hal yang sulit. Karena aku berjuang mati-matian rasanya. Nggak sih, lebay. Tapi emang susah sih buat aku hehe (galau).

Dari awal kelas 3 SMA aku udah belajar serajin yang aku bisa. Di sekolah maupun tempat les. Aku selalu menargetkan nilai ujian harus bagus (karena buat bekal SNMPTN undangan) dan juga nilai try out juga harus terus naik buat latian ujianku. Walhasil memang, nilai sekolahku bagus dan nilai try out ku selalu naik.

Waktu daftar SNMPTN undangan aku daftar di univ yang cukup bergengsi (although i know my score maybe not enough), tapi aku berani tanggung risiko buat masukin nilai aku ke univ yang aku tuju itu. Hasilnya aku nggak diterima, tapi di titik itu justru aku yakin bisa tembus lewat cara yang lain yakni SBMPTN (ujian tulis) atau tes mandiri.

Mendekati SBMPTN aku semakin semangat dan yakin karena nilai try out ku sudah melewati batas nilai lulus univ yang aku inginkan. Tetapi entah ada angin apa, beberapa hari menjelang SBMPTN (mungkin juga karena mendengar isu-isu soalnya bakal susah banget) aku malah down. Semangatku turun drastis. Aku berfirasat buruk, kali ini pun aku nggak akan keterima lagi. Dan hasilnya, aku menangis selesai mengisi soal-soal SBMPTN. Aku merasa nggak ada harapan.

Beberapa hari berikutnya aku kumpulkan semangat lagi. Sambil menunggu pengumuman SBMPTN aku mendaftar beberapa ujian mandiri di PTN dengan tujuannya satu jurusan, FK. Bahkan saat itu aku nggak punya pilihan kedua. I dont know how i want to be, kalau aku bukan jadi dokter. Aku mau kuliah kedokteran. Titik. Tapi saat itu aku berusaha nggak memilih swasta. Sebetulnya bukan karena gengsi kuliah di swasta, tapi lebih karena aku tahu kuliah kedokteran di swasta itu mahalnya bukan main.

Aku bahkan lupa sudah berapa kali aku ikut tes. Rasanya tiap minggu aku ikut tes.  Aku bahkan belum bisa terlepas dari buku soal semenjak aku lepas dari ujian nasional. Sedangkan teman-temanku yang sudah dapat bangku kuliah asyik liburan kemana-mana. Aku, cuma di rumah aja tiap hari. Berkutat dengan soal-soal.  It makes me so exhausted

Aku tau kekuranganku. Aku bukan anak yang pintar, bukan anak yang jenius. Tapi kalo urusan pantang menyerah dan berani ambil risiko (walau saat itu risikonya aku harus ulang tahun depan untuk tes masuk kedokteran lagi), aku tetap berusaha untuk masuk FK di PTN.

Sampai setelah sekitar 1 bulan lebih aku belum juga mendapatkan bangku kuliah, aku mulai merasa semangatku surut perlahan-lahan. Aku merasa mungkin memang bukan takdirku untuk jadi dokter. Pikiran-pikiran aneh pun berterbangan, bahkan yang tidak masuk akal sekalipun. Aku ingat beberapa bulan lalu aku tes psikotes yang memberikan saran untuk memilih jurusan di kuliah. Waktu itu aku disarankan untuk kuliah teknik, MIPA, hubungan internasional dan manajemen. Nggak ada satupun hasil tes psikotes itu yang menunjukan bahwa aku cocok di dunia medis, walau itu jurusan gizi sekalipun. Mulailah terpikir untuk pindah jurusan. Dalam benakku, "mungkin bukan dokter jalan yang terbaik buatku."

Hingga suatu saat aku mulai menyerah.  Aku coba tes di FK swasta. Dan hasilnya, aku pun nggak diterima. Di titik ini, aku benar-benar merasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Hal ini membuatku nangis senangis-nangisnya. Aku akhirnya benar-benar yakin bahwa, ya, bukan ini jalanku. Tapi orangtuaku tetap menyemangati untuk masuk FK. Terutama Papa. Papa sampai marah gara-gara aku pesimis dan berpikir untuk ganti jurusan. Aku memang masuk FK bukan karena dorongan orangtua, tapi orangtuaku, terutama Papa, mengajarkan anaknya untuk tidak pantang menyerah.

Di tengah perjalanan mencari bangku kuliah itu, aku akhirnya diterima di FKM UI. Ini adalah pilihan keduaku setelah FK UI saat aku ikut ujian SIMAK UI. Aku mulai tenang, karena setidaknya aku punya pegangan bangku kuliah di tahun ini, walau belum sesuai sama harapan. Setelah diterima, aku pun melakukan prosedur selayaknya seorang maba. Daftar ulang dan ikut serangkaian kegiatan OSPEK.

Hampir 1 bulan aku ikut OSPEK di UI, aku cukup senang karena punya teman-teman baru, dan merasakan sensasi jadi maba. Aku mulai acuh dengan beberapa pengumuman ujian tulis yang aku ikuti beberapa bulan lalu.

Sampai akhirnya, aku ingat betul, saat itu aku sedang itikaf di mesjid UI (saat masa OSPEK itu sedang bulan puasa); tiba-tiba seorang karibku mengirim BBM (dulu masih jaman BBM-an haha) isinya "selamat ya Feb, kamu diterima di FK UIN". Aku benar-benar nggak nyangka. Aku bahkan lupa kapan pengumuman ujian mandiri UIN. Dan memang saat itu aku sudah nggak berharap. Aku merasa nggak pede saat ujian, terlebih karena aku telat 20 menit memasuki ruang ujian saat ujian mandiri UIN. Benar-benar nggak terduga rencana Allah SWT.

Di satu sisi aku sangat bersyukur karena akhirnya aku diterima di FK PTN walau bukan PTN yang aku mau. Aku mencoba ikhlas dan yakin bahwa ini memang yang terbaik. Mungkin ada hikmahnya aku nggak diterima di FK swasta, biar ortuku nggak usah keluarin duit banyak dulu hehe. Di satu sisi aku juga berpikir, kenapa sih aku harus susah-susah gini masuk FK, di saat orang-orang mungkin masuk FK secara tidak sengaja, atau bisa disebut hoki-hokian. Tapi aku, susahnyaa minta ampun. Aku negerasa bener-bener berjuang. Mungkin dari titik inilah, tiap kali aku down di perkuliahan, aku coba inget lagi gimana susahnya dulu aku tes buat masuk kedokteran. :")

Nah itu tadi yang pertama.  Yang kedua adalah momen dimana aku bener-bener down saat di perkuliahan. Saat itu aku dapet nilai D di salah satu modul kuliah. Dan aku harus ujian tulis ulang untuk lulus dengan nilai maksimal C. Kalau tidak lulus ujian tulis ulang, aku terpaksa harus ulang modul di putaran modul yang sama di tahun depan. Begitulah sistem di FK. Nggak ada semester pendek. Ulang modul berarti harus ikut modul yang sama di tahun depan. Satu modulnya itu 3-6 minggu. Saat itu benar-benar berat menerima kenyataan bahwa aku dapat nilai D di modul itu. Karena aku merasa belajar dan cukup rajin di modul itu.  Saat ujian memang aku sedang kurang enak badan. Dan setelah diusut nilai sumatifku cuma mendapat score 30 dari 100, hanya karena aku salah membulatkan lembar jawaban. Apa boleh buat. Nasi sudah menjadi bubur. Dalam kondisi yang sangat down itu aku coba ikhlas, ingat lagi perjalananku selama ini. Mulai dari awal sampai di titik tersebut. Mencoba mengingat lagi kalau selama ini aku udah banyak dibantu Allah, udah banyak dikasih kesenangan; tapi cuma karena satu hal ini aja aku jadi merasa dunia jungkir balik, dunia nggak berpihak sama aku, dunia ini nggak adil. Di saat seperti itulah, justru aku ngerasa Allah tuh sayang sama aku. Pingin liat aku berdoa lebih banyak, merenung lebih banyak, istigfar lebih banyak. Pingin aku belajar lebih dewasa menghadapi masalah dan mungkin sedikit menarik aku dari kesenangan dunia yang semu. Belajar ikhlas, bahwa Allah itu menilai proses bukan hasil. Alhamdulillah setelah ikut ujian tulis ulang, aku lulus tanpa harus mengulang modul yang sama di tahun depan.

Dari dua peristiwa tadi dan dari kerikil-kerikil kecil lainnya dalam perjalanan hidupku, akhirnya aku banyak belajar. Hingga di titik aku menemukan jawaban bahwa nggak ada yang kita cari di dunia ini selain "ridho Allah". Tujuan kita belajar apa sih, ya buat ibadah. Karena menuntut ilmu adalah salah satu hal yang dijunjung tinggi oleh agama.  Bukan nilai, bukan medali atau piala yang kita cari. Segala bentuk penghargaan itu anggap saja sebagai bonus, atau bisa dibilang rezeki dari Allah SWT. Dan setiap makhluk melata di bumi ini sudah dijamin rezekinya oleh Allah bukan? Jadi apa yang sebetulnya kita cari? Apa yang sebetulnya kita kejar? Selain itu Allah juga menyukai hamba-Nya yang bekerja keras (ikhtiar), dan Allah tidak menyukai hambanya yang bersikap lemah.

Jadi sebenarnya hidup ini adalah bagaimana kita menjadi Hamba Allah yang baik, hamba Allah yang taat. Hidup ini adalah tentang mengabdi kepada Tuhan. Karena toh pada akhirnya kita akan kembali kepada-Nya dan nggak ada sesuatu apapun yang kita bawa. Selain itu, dalam hidup kita juga harus bermanfaat buat sesama, yang ujung-ujungnya untuk mendapatkan ridho-Nya juga.

So, apa yang kamu takutkan dalam hidup ini, Feb? Kemerosotan prestasi? Kebangkrutan? Kegagalan? Nope. Yang sepantasnya kamu takutkan adalah kamu lupa akan prinsip ini. Bahwa hidup adalah tentang mengabdi kepada Tuhan dan bermanfaat buat sesama. Jadi, jangan takut masa depan!


Catatan: Tulisan ini sebagai reminder buat diri sendiri. Karena sejatinya hidup itu nggak selamanya lurus, pikiran dan hati kita nggak selamanya lurus. Tapi di titik dimana kita merasa hilang arah, maka ingat lagi akan prinsip ini. Buat yang baca tulisan ini, semoga bermanfaat ya! Kalo punya pendapat berbeda, silahkan komen di bawah (padahal ga ada yang baca wkwk) :D

Post a Comment

2 Comments